SELAMAT DATANG DI WEBSITE KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN KEDUNGJAJANG KABUPATEN LUMAJANG JAWA TIMUR 67358

Tuesday, September 25, 2012

UU tentang WAKAF


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41 TAHUN 2004
TENTANG
WAKAF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa lembaga wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi
dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan efisien untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum;
b. bahwa wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan
dilaksanakan dalam masyarakat, yang pengaturannya belum lengkap serta
masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b, dipandang perlu membentuk Undang-Undang tentang Wakaf;
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 29, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG WAKAF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum
menurut syariah.
2. Wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.
2
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
3. Ikrar Wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau
tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.
4. Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
5. Harta Benda Wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat
jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh
Wakif.
6. Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW, adalah pejabat
berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk membuat akta ikrar wakaf.
7. Badan Wakaf Indonesia adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan
di Indonesia.
8. Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas
Presiden beserta para menteri.
9. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama.
BAB II
DASAR-DASAR WAKAF
Bagian Pertama
Umum
Pasal 2
Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syariah.
Pasal 3
Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.
Bagian Kedua
Tujuan dan Fungsi Wakaf
Pasal 4
Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.
Pasal 5
Wakaf berfungsi mewujudkanpotensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Bagian Ketiga
Unsur Wakaf
Pasal 6
Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut:
a. Wakif;
3
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
b. Nazhir;
c. Harta Benda Wakaf;
d. Ikrar Wakaf;
e. peruntukan harta benda wakaf;
f. jangka waktu wakaf.
Bagian Keempat
Wakif
Pasal 7
Wakif meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi;
c. badan hukum.
Pasal 8
(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan
wakaf apabila memenuhi persyaratan:
a. dewasa;
b. berakal sehat;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan
wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik
organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan
wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf
milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Bagian Kelima
Nazhir
Pasal 9
Nazhir meliputi:
a. perseorangan;
b. organisasi; atau
c. badan hukum.
Pasal 10
(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi Nazhir
apabila memenuhi persyaratan :
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
4
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi Nazhir
apabila memenuhi persyaratan:
a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam.
(3) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi Nazhir
apabila memenuhi persyaratan :
a. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazhir perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan
c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan,
kemasyarakatan, dan/atau keagamaan Islam.
Pasal 11
Nazhir mempunyai tugas :
a. melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;
b. mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukannya;
c. mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;
d. melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 12
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir dapat menerima
imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang
besarnya tidak melebihi 10% (sepuluh persen).
Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Nazhir memperoleh
pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
5
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Pasal 14
(1) Dalam rangka pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Nazhir harus terdaftar
pada Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Nazhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Harta Benda Wakaf
Pasal 15
Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif secara
sah.
Pasal 16
(1) Harta benda wakaf terdiri dari :
a. benda tidak bergerak; dan
b. benda bergerak.
(2) Benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(3) Benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang
tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi :
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Ikrar Wakaf
Pasal 17
(1) Ikrar wakaf dilaksanakan oleh Wakif kepada Nadzir di hadapan PPAIW dengan disaksikan
oleh 2 (dua) orang saksi.
6
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
(2) Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan
serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.
Pasal 18
Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam
pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk
kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
Pasal 19
Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau
bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW.
Pasal 20
Saksi dalam ikrar wakaf harus memenuhi persyaratan:
a. dewasa;
b. beragama Islam;
c. berakal sehat;
d. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Pasal 21
(1) Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf.
(2) Akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat :
a. nama dan identitas Wakif;
b. nama dan identitas Nazhir;
c. data dan keterangan harta benda wakaf;
d. peruntukan harta benda wakaf;
e. jangka waktu wakaf.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai akta ikrar wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Peruntukan Harta Benda Wakaf
Pasal 22
Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat
diperuntukan bagi:
a. sarana dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau
7
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Penetapan peruntukan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dilakukan
oleh Wakif pada pelaksanaan ikrar wakaf.
(2) Dalam hal Wakif tidak menetapkan peruntukan harta benda wakaf, Nazhir dapat
menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan
fungsi wakaf.
Bagian Kesembilan
Wakaf dengan Wasiat
Pasal 24
Wakaf dengan wasiat baik secara lisan maupun secara tertulis hanya dapat dilakukan apabila
disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20.
Pasal 25
Harta benda wakaf yang diwakafkan dengan wasiat paling banyak 1/3 (satu pertiga) dari
jumlah harta warisan setelah dikurangi dengan utang pewasiat, kecuali dengan persetujuan
seluruh ahli waris.
Pasal 26
(1) Wakaf dengan wasiat dilaksanakan oleh penerima wasiat setelah pewasiat yang
bersangkutan meninggal dunia.
(2) Penerima wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertindak sebagai kuasa wakif.
(3) Wakaf dengan wasiat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan tata cara perwakafan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 27
Dalam hal wakaf dengan wasiat tidak dilaksanakan oleh penerima wasiat, atas permintaan
pihak yang berkepentingan, pengadilan dapat memerintahkan penerima wasiat yang
bersangkutan untuk melaksanakan wasiat.
8
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Bagian Kesepuluh
Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang
Pasal 28
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah
yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dilaksanakan
oleh Wakif dengan pernyataan kehendakWakif yang dilakukan secara tertulis.
(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
dalam bentuk sertifikat wakaf uang.
(3) Sertifikat wakaf uang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dan disampaikan
oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir sebagai bukti penyerahan harta
benda wakaf.
Pasal 30
Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang
kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf
Uang.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 30 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF
Pasal 32
PPAIW atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada Instansi yang berwenang
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak akta ikrar wakaf ditandatangani.
Pasal 33
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, PPAIW
menyerahkan:
a. salinan akta ikrar wakaf;
b. surat-surat dan/atau bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.
9
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Pasal 34
Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 35
Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 disampaikan oleh
PPAIW kepada Nazhir.
Pasal 36
Dalam hal harta benda wakaf ditukar atau diubah peruntukannya, Nazhir melalui PPAIW
mendaftarkan kembali kepada Instansi yang berwenang dan Badan Wakaf Indonesia atas harta
benda wakaf yang ditukar atau diubah peruntukannya itu sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 37
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran harta benda wakaf.
Pasal 38
Menteri dan Badan Wakaf Indonesia mengumumkan kepada masyarakat harta benda wakaf
yang telah terdaftar.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda
wakaf diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF
Pasal 40
Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang:
1. dijadikan jaminan;
2. disita;
3. dihibahkan;
4. dijual;
5. diwariskan;
6. ditukar; atau
7. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
10
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Pasal 41
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf f dikecualikan apabila harta benda
wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana
umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya karena ketentuan pengecualian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditukar dengan harta benda yang manfaat dan
nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan status harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF
Pasal 42
Nazhir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi,
dan peruntukannya.
Pasal 43
(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh Nazhir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42 dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan secara produktif.
(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dimaksud pada ayat
(1) diperlukan penjamin, maka digunakan lembaga penjamin syariah.
Pasal 44
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir dilarang melakukan
perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari Badan Wakaf
Indonesia.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan apabila harta benda wakaf
ternyata tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang dinyatakan dalam ikrar
wakaf.
Pasal 45
(1) Dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, Nazhir diberhentikan dan
diganti dengan Nazhir lain apabila Nazhir yang bersangkutan :
a. meninggal dunia bagi Nazhir perseorangan;
11
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
b. bubar atau dibubarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk Nazhir organisasi atau Nazhir badan hukum;
c. atas permintaan sendiri;
d. tidak melaksanakan tugasnya sebagai Nazhir dan/atau melanggar ketentuan larangan
dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. dijatuhi hukuman pidana oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
(2) Pemberhentian dan penggantian Nazhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang dilakukan oleh Nazhir lain karena
pemberhentian dan penggantian Nazhir, dilakukan dengan tetap memperhatikan
peruntukan harta benda wakaf yang ditetapkan dan tujuan serta fungsi wakaf.
Pasal 46
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI
BADAN WAKAF INDONESIA
Bagian Pertama
Kedudukan dan Tugas
Pasal 47
(1) Dalam rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional, dibentuk Badan
Wakaf Indonesia.
(2) Badan Wakaf Indonesia merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugasnya.
Pasal 48
Badan Wakaf Indonesia berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan
dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/ atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 49
(1) Badan Wakaf Indonesia mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan pembinaan terhadap Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta
benda wakaf;
b. melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional;
c. memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta
benda wakaf;
d. memberhentikan dan mengganti Nazhir;
12
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
e. memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf;
f. memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan
di bidang perwakafan.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Wakaf Indonesia
dapat bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah, organisasi
masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu.
Pasal 50
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, Badan Wakaf Indonesia
memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri dan Majelis Ulama Indonesia.
Bagian Kedua
Organisasi
Pasal 51
(1) Badan Wakaf Indonesia terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan.
(2) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pelaksana tugas
Badan Wakaf Indonesia.
(3) Dewan Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unsur pengawas
pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia.
Pasal 52
(1) Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan Wakaf Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51, masing-masing dipimpin oleh 1 (satu) orang Ketua dan 2 (dua)
orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota.
(2) Susunan keanggotaan masing-masing Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan Badan
Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh para anggota.
Bagian Ketiga
Anggota
Pasal 53
Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan
paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat.
Pasal 54
(1) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia, setiap calon anggota harus
memenuhi persyaratan :
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
13
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani;
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum;
g. memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan
dan/atau ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syariah; dan
h. mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan mengenai persyaratan
lain untuk menjadi anggota Badan Wakaf Indonesia ditetapkan oleh Badan Wakaf
Indonesia.
Bagian Keempat
Pengangkatan dan Pemberhentian
Pasal 55
(1) Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
(2) Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan
oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan Badan Wakaf
Indonesia.
Pasal 56
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan
dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 57
(1) Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada
Presiden oleh Menteri.
(2) Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk
selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemilihan calon keanggotaan Badan Wakaf Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Badan Wakaf Indonesia, yang
pelaksanaannya terbuka untuk umum.
Pasal 58
Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia yang berhenti sebelum berakhirnya masa jabatan diatur
oleh Badan Wakaf Indonesia.
14
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 59
Dalam rangka pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia, Pemerintah wajib membantu biaya
operasional.
Bagian Keenam
Ketentuan Pelaksanaan
Pasal 60
Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, tugas, fungsi, persyaratan, dan tata cara
pemilihan anggota serta susunan keanggotaan dan tata kerja Badan Wakaf Indonesia diatur
oleh Badan Wakaf Indonesia.
Bagian Ketujuh
Pertanggungjawaban
Pasal 61
(1) Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Badan Wakaf Indonesia dilakukan melalui laporan
tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada Menteri.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat.
BAB VII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 62
(1) Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai
mufakat.
(2) Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil,
sengketa dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 63
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan wakaf untuk
mewujudkan tujuan dan fungsi wakaf.
(2) Khusus mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri
mengikutsertakan Badan Wakaf Indonesia.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan
dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia.
15
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Pasal 64
Dalam rangka pembinaan, Menteri dan Badan Wakaf Indonesia dapat melakukan kerja sama
dengan organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang
perlu.
Pasal 65
Dalam pelaksanaan pengawasan, Menteri dapat menggunakan akuntan publik.
Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk pembinaan dan pengawasan oleh Menteri dan Badan
Wakaf Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, Pasal 64, dan Pasal 65 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Pertama
Ketentuan Pidana
Pasal 67
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan,
mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah
diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda
wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
(3) Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas hasil
pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 68
(1) Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak didaftarkannya
harta benda wakaf oleh lembaga keuangan syariah dan PPAIW sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 32.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
16
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi lembaga
keuangan syariah;
c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 69
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang ini, wakaf yang dilakukan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum diundangkannya Undang-Undang
ini, dinyatakan sah sebagai wakaf menurut Undang-Undang ini.
(2) Wakaf sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didaftarkan dan diumumkan paling
lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 70
Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
(2) Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Oktober 2004
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PROF. DR. YUSRIL IHZA MAHENDRA

UU tentang Perkawinan

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR I TAHUN 1974
TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan
Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945:
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/ 1983.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN
BAB I DASAR PERKAWINAN Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkn ketuhanan Yang Maha Esa
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3.
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri.. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang harus dipenuhi syarat syarat sebagai berikut
a. Ada persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB II SYARAT-SYARAT PERKAWINAN Pasal 6
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam ayat (2), (3) dan (4), pasal ini atau salah seorang atau. di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah, dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. sehubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bapak tiri
d. sehubungan susunan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. sehubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenekan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku, dilarang kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 dan Pasal 4 Undang undang ini
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan Pemerintah lebih lanjut
Pasal 12
Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri
BAB III PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 13
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara. wali nikah, pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2)Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mepunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini
Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(3) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
pasal 17
(1) pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan.
(2) kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini pegawai pencatat perkawinan
Pasal 18
pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19
perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan dicabut
Pasal 20
pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun ada pencegahan perkawinan
Pasal 21
(1) Jadi pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.
(2) Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan: keterangan penolakan tersebut di atas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para hak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka
BAB IV BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi, syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. suami atau isteri
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinanan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas
dasar masih adanyaperkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan. tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini
Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengandilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri
- , Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau ` yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan Akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan .apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan i'tikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i'tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB V PERJANJIAN PERKAWINAN Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
(4) Selama perkawinan berlangsung tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI-ISTERI Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk mlelakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga
Pasal 32
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masi dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
BAB VII HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dan masing-masing suami dan isteri dan harta benda. yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adal.ah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.
BAB VIII PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena : a. kematian, b. perceraian c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri
(3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan-perundangan tersendiri
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak,Pengadilan memberi keputusannya:
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas suami.
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan, oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas,bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya:
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya
b. berkelakuan buruk sekali
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
BAB XI PERWALIAN Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawa kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu
(5) Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.
Pasal 53
(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49 Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana di maksud pada ayat (1) pasal ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta bendaanak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Pengadilan yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut
BAB XII KENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama Pembuktian asal-usul anak
Pasal 55
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Bagian Kedua Perkawinan di luar Indonesia
Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warga negara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawina itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami iseri itu kembali di Wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian Ketiga Perkawinan Campuran
Pasal 57
(1) Perkawinan yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang - undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang lakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini.
Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk, melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2)Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini .
Bagian Keempat Pengadilan
Pasal 63
(1 )Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang undang ini ialah
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh pengadilan Umum.
BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan s perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku dijalankan menurut peraturan-peraturan lama, adalah sah.
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik dasarkan hukum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat : Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut :
a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih seorang menurut Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini.
BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Howelijks, Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74 ), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya yang pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
t.t.d.
SOEHARTO
JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
t t.d.
SOEDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI

Thursday, September 20, 2012

UU tentang PENGELOLAAN ZAKAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG
PENGELOLAAN ZAKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
 a. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu;
bahwa menunaikan zakat merupakan b. kewajiban bagi
umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam;
c.bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang
bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat;
d.bahwa dalam rangka meningkatkan dayaguna dan
hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga
sesuai dengan syariat Islam;
e.bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat,
sehingga perlu diganti;
f.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pengelolaan Zakat;
Mengingat :
 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN
ZAKAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pengelolaan zakat adalah kegiatan 1. perencanaan,
pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat.
2.Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh
seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan
syariat Islam.
3.Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang
atau badan usahan di luar zakat untuk
kemaslahatan umum.
4.Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan
oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat
untuk kemaslahatan umum.
5.Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha
yang berkewajiban menunaikan zakat.
6.Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7.Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut
BAZNAS adalah lembaga yang melakukan
pengelolaan zakat secara nasional.
8.Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disebut LAZ
adalah Lembaga yang dibentuk masyarakat yang
memiliki tugas membantu pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
9.Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disebut UPZ
adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh
BAZNAS untuk membantu mengumpulkan zakat.
10.Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan
hukum.
11.Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang
dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam
pengelolaan zakat sesuai dengan syariat Islam.
Menteri adalah menteri yang 12. menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2
Pengelolaan zakat berasaskan:
a.syariat Islam;
b.amanah;
c.kemanfaatan;
d.keadilan;
e.kepastian hukum;
f.terintegrasi; dan
g.akuntabilitas.
Pasal 3
Pengelolaan zakat bertujuan:
a.meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan
dalam pengelolaan zakat; dan
b.meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan
kemiskinan.
Pasal 4
(1)Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.
(2)Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b.uang dan surat berharga lainnya;
c.perniagaan;
d.pertanian, perkebunan dan kehutanan;
e.peternakan dan perikanan;
f.pertambangan;
g.perindustrian;
h.pendapatan dan jasa; dan
i.rikaz.
(3)
Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan harta yang dimiliki oleh muzaki
perseorangan atau badan usaha.
(4) Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan
zakat fitrah dilaksanakan sesuai dengan syariat
Islam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penghitungan zakat mal dan zakat fitrah
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) akan diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB II
BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat,
Pemerintah membentuk BAZNAS.
(2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berkedudukan di ibu kota negara.
(3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada
Presiden melalui Menteri.
Pasal 6
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang
melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
perencanaan pengumpulan, pendistribusian, a. dan
pendayagunaan zakat;
b.pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat;
c.pengendalian pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat;
d.pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan
pengelolaan zakat.
(2)
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
BAZNAS dapat bekerjasama dengan pihak terkait
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya
secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun.
Bagian Kedua
Keanggotaan
Pasal 8
(1) BAZNAS terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota.
(2) Keanggotaan BAZNAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri atas 8 (delapan) orang dari
unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur
pemerintah.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri atas unsur ulama, tenaga profesional,
dan tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat ditunjuk dari kementerian/instansi
yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
(5) BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang
wakil ketua.
Pasal 9
Masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima)
tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
Pasal 10
Anggota BAZNAS diangkat dan (1) diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri.
(2)Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat
oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia.
(3)Ketua dan Wakil Ketua BAZNAS dipilih oleh
anggota.
Pasal 11
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota
BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 paling
sedikit harus:
a.warga negara Indonesia;
b.beragama Islam;
c.bertakwa kepada Allah SWT;
d.berakhlak mulia;
e.berusia minimal 40 (empat puluh) tahun;
f.sehat jasmani dan rohani;
g.tidak menjadi anggota partai politik;
h.memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat;
dan
i.tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 12
Anggota BAZNAS diberhentikan apabila:
a.meninggal dunia;
b.habis masa jabatan;
c.mengundurkan diri;
d.tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga)
bulan secara terus menerus; atau
e.tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan
dan pemberhentian anggota BAZNAS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibantu
oleh sekretariat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata
kerja sekretariat BAZNAS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
BAZNAS Provinsi
Dan BAZNAS Kabupaten/Kota
Pasal 15
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan zakat pada
tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk
BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota.
(2) BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul
gubernur setelah mendapat pertimbangan
BAZNAS.
(3) BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk atas usul
bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan
BAZNAS.
(4) Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak
mengusulkan pembentukan BAZNAS provinsi atau
BAZNAS kabupaten/kota, Menteri atau pejabat
yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi
atau kabupaten/kota setelah mendapat
pertimbangan BAZNAS.
(5) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota
melaksanakan tugas dan fungsi BAZNAS di
provinsi atau kabupaten/kota masing-masing.
Pasal 16
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS
kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada
instansi pemerintah, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan
perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta
dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan,
kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.
Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi (2) dan tata
kerja BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/Kota diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Keempat
Lembaga Amil Zakat
Pasal 17
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 18
(1)Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri
atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2)Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberikan apabila memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a.terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan
Islam yang mengelola bidang pendidikan,
dakwah, dan sosial;
b.berbentuk lembaga berbadan hukum;
c.mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d.memiliki pengawas syariat;
e.memiliki kemampuan teknis, administratif dan
keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f.bersifat nirlaba;
g.memiliki program untuk mendayagunakan
zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h.bersedia diaudit syariah dan diaudit keuangan
secara berkala.
Pasal 19
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan,
pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah
diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi,
mekanisme perizinan, pembentukan perwakilan,
pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN,
PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu
Pengumpulan
Pasal 21
Dalam rangka pengumpulan (1) zakat, muzaki
melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban
zakatnya.
(2)Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri
kewajiban zakatnya, muzaki dapat meminta
bantuan BAZNAS.
Pasal 22
Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS
atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.
Pasal 23
(1) BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran
zakat kepada setiap muzaki.
(2) Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan
kena pajak.
Pasal 24
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh
BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS
kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendistribusian
Pasal 25
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai
syariat Islam.
Pasal 26
Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan
memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan
kewilayahan.
Bagian Ketiga
Pendayagunaan
Pasal 27
Zakat dapat didayagunakan untuk (1) usaha produktif
dalam rangka penanganan fakir miskin dan
peningkatan kualitas umat.
(2)Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan
zakat untuk usaha produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Keempat
Pengelolaan Infak, Sedekah,
Dan Dana Sosial keagamaan Lainnya
Pasal 28
(1)Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga
dapat menerima infak, sedekah, dan dana social
keagamaan lainnya.
(2)Pendistribyusian dan pendayagunaan infak,
sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai
dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi.
(3)Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial
keagamaan lainnya harus dicatat dalam
pembeukuan tersendiri.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 29
(1)BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan
pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan
dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS
provinsi dan pemerintah daerah secara berkala.
(2)BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan
dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS
dan pemerintah daerah secara berkala.
(3)LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
pengelolaan zakat, infak, sedekah dan dana sosial
keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan
pemerintah daerah secara berkala.
(4)BAZNAS wajib menyampaikan laporan
pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah dan
dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri
secara berkala.
Laporan neraca tahunan (5) BAZNAS diumumkan
melalui media cetak atau media elektronik.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan
BAZNAS kabupaten/kota, BAZNAS provinsi, LAZ,
dan BAZNAS diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 30
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai
dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Hak Amil.
Pasal 31
(1)Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS provinsi
dan BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), dibiayai dengan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak
Amil.
(2)Selain pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota dapat dibiayai dengan Anggaran
Pendapatan Belanja Negara.
Pasal 32
LAZ dapat menggunakan hak amil untuk membiayai
kegiatan operasional.
Pasal 33
(1)Pembiayaan BAZNAS dan penggunaan Hak Amil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31
ayat (1), dan Pasal 32 diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
(2)Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (3) dan pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 34
Menteri melaksanakan pembinaan (1) dan pengawasan
terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS
kabupaten/kota, dan LAZ.
(2)Gubernur dan Bupati/Walikota melaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS
provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ sesuai
dengan kewenangannya.
(3)Pembinaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan
edukasi.
BAB VI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 35
(1)Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan
dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ.
(2)Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam rangka:
a.meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
menunaikan zakat melalui BAZNAS dan LAZ;
dan
b.memberikan saran untuk peningkatan kinerja
BAZNAS dan LAZ.
(3)Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk :
a.akses terhadap informasi tentang pengelolaan
zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ;
dan
b.penyampaian informasi apabila terjadi
penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 36
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 23 ayat (1), Pasal 28
ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (3) dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
LARANGAN
Pasal 37
Setiap orang dilarang melakukan tindakan memiliki,
menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau
mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau dana
sosial keagamaan lainnya yang ada dalam
pengelolaannya.
Pasal 38
Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku
amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian,
atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang
berwenang.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 39
Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum
tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan
ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 40
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 41
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 38
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 42
Tindak pidana sebagaimana dimaksud (1) dalam Pasal
39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan.
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 merupakan pelanggaran.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
Badan Amil Zakat Nasional yang (1) telah ada sebelum
Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan
tugas dan fungsi sebagai BAZNAS berdasarkan
Undang-Undang ini sampai terbentuknya BAZNAS
yang baru sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2)Badan Amil Zakat Daerah provinsi dan Badan Amil
Zakat Daerah kabupaten/kota yang telah ada
sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap
menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS
provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota berdasarkan
Undang-Undang ini sampai terbentuknya
kepengurusan baru berdasarkan Undang-Undang
ini.
(3)LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum
Undang-Undang ini berlaku dinyatakan sebagai
LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
(4)LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan
Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
(Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 45
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3885) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 46
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus
ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 47
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN




Sunday, September 16, 2012

UU tentang PERADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989
Tentang
PERADILAN AGAMA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan
tertib;

b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin
persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk
menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang
mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat;
c. bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran,
ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui Peradilan Agama
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
d. bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan, dan hukum acara
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang selama ini masih
beraneka karena didasarkan pada :
1. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad
Tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan Staatsblad Tahun 1937
Nomor 116 dan 610);
2. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk
sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun
1937 Nomor 638 dan 639);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
e. perlu segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur
Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
f. bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut, dan untuk
melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman dipandang perlu menetapkan
undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) ;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3316); Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN AGAMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1


Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam.
2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di
lingkungan Peradilan Agama.
3. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Agama dan Hakim pada Pengadilan
Tinggi Agama.
4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor
UrusanAgama.
5. Juru Sita dan atau Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan atau Juru Sita
Pengganti pada Pengadilan Agama.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagirakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 3
1. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :
a. Pengadilan Agama;
b. Pengadilan Tinggi Agama.
2. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 4
1. Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota
kabupaten,
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.
2. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Propinsi.
Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 5
1. Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
2. Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan dilakukan
oleh Menteri Agama.
3. Pembinaan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
BAB II
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
U m u m
Pasal 6
Pengadilan terdiri dari :
1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.
Pasal 7
Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Pasal 8
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan Undang-undang.
Pasal 9
1. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
2. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris.
Pasal 10
1. Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil
Ketua.
2. Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
3. Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim Tinggi.
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera, dan Juru Sita
Pasal 11
1. Hakim adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman.
2. Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan
tugas Hakim ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Pasal 12
2. Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai
negeri dilakukan oleh Menteri Agama.
3. Pembinaan dan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
Pasal 13
1. Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,
termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat
langsung ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi
G.30.S/PKI", atau organisasi terlarang yang lain;
f. pegawai negeri;
g. sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
h. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
i. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
2. Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Agama
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Agama.
Pasal 14
1. Untuk dapat diangkat menjadi Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
a, b, d, e, f, g, dan i;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua atau
Wakil Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim
Pengadilan Agama.
3. Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama diperlukan
pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim
Pengadilan Tinggi Agama atau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun bagi
Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan
Agama.
4. Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama
diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tinggi Agama atau, sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun
bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua
Pengadilan Agama.
Pasal 15
1. Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala Negara
atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
2. Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 16
1. Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib
mengucapkan sumpah menurut agama Islam yang berbunyi sebagai berikut,
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini,


langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa pun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun
juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-
Undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya
seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
2. Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh Ketua
Pengadilan Agama.
3. Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan
Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.
4. Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Mahkamah
Agung.
Pasal 17
1. Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim
tidak boleh merangkap menjadi :
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara
yang diperiksa olehnya;
c. pengusaha.
5. Hakim tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
6. Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
1. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim Pengadilan Agama, dan 63 (enam puluh tiga) tahun bagi
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
2. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim yang meninggal dunia dengan sendirinya
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
Negara.
Pasal 19
1. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim diberhentikan tidak dengan hormat dari
jabatannya dengan alasan :
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17.
2. Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b sampai dengan e
dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk
membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
3. Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Hakim serta
tata
cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung bersama-sama
dengan Menteri Agama.


Pasal 20
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai pegawai negeri.
Pasal 21
a. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim sebelum diberhentikan tidak dengan
hormat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala
Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
b. Terhadap pengusulan pemberhentian sementara sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1), berlaku juga ketentuan sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
Pasal 22
1. Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti
dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan
sementara dari jabatannya.
2. Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-undang
Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat,
pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara serta
hakhak
pejabat yang dikenakan pemberhentian, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 24
1. Kedudukan protokol Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
2. Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, dan
Hakim diatur dengan Keputusan Presiden.
Pasal 25
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas
perintah
Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan
Menteri Agama, kecuali dalam hal :
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan
negara.
Panitera
Pasal 26
1. Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin
oleh seorang Panitera.
2. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh
seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang
Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru Sita.
3. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi Agama dibantu
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa
orang Panitera Pengganti.
Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah atau sarjana
muda hukum yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai


Wakil Panitera atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda
Pengadilan Agama, atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan
Tinggi Agama.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Wakil
Panitera atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi
Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera
Muda atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama.
Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
dan d;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai Panitera
Muda atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi
Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera Pengadilan Agama,
atau menjabat Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama.
Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera
Muda atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama,
atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.
Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
d, dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Agama.
Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, b, c,
dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Agama atau 10 (sepuluh) tahun sebagai pegawai


negeri pada Pengadilan Tinggi Agama.
Pasal 35
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Panitera
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan
dengan perkara yang di dalamnya ia bertindak sebagai Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 36
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pengadilan
diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri Agama.
Pasal 37
Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda,
dan
Panitera Pengganti diambil sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua
Pengadilan yang bersangkutan.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya
ini,
langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau cara apa pun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun
juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung
dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-
Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan
akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadiladilnya
seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda,
Panitera
Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan".
Paragraf 3
Juru Sita
Pasal 38
Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita
Pengganti.
Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sekolah lanjutan tingkat atas;
f. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Juru Sita
Pengganti.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, c, d,
dan e;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai


negeri pada Pengadilan Agama.
Pasal 40
(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama atas usul Ketua
Pengadilan Agama.
(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan
Agama.
Pasal 41
Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti diambil
sumpahnya menurut agama Islam oleh Ketua Pengadilan Agama.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut :
"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya
ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apa
pun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun
juga".
"Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan
sesusatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak
langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan
serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-
Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang
berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan
akan
berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadiladilnya
seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti yang berbudi
baik
dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 42
(1) Kecuali ditentutakan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Juru
Sita
tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan
dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
(2) Juru Sita tidak boleh merangkap menjadi Penasihat Hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih lanjut
oleh
Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 43
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin oleh
seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Pasal 44
Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.
Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Agama, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
e. berijazah serendah-rendahnya sarjana muda syari'ah, atau sarjana muda
hukum yang menguasai hukum Islam atau sarjana muda administrasi;
f. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.
Pasal 46


Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi Agama,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 huruf a, b, c,
d, dan f;
b. berijazah sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum
Islam.
Pasal 47
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
Pasal 48
Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpahnya
menurut
agama Islam oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.
Bunyi sumpah adalah sebagai berikut:
"Demi Allah, saya bersumpah :
bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan taat
sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan
Pemerintah;
bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku
dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan
penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara,
Pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa
mengutamakan
kepentingan negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau
golongan;
bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya atau
menurut perintah harus saya rahasiakan;
bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat
untuk kepentingan negara".
BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN
Pasal 49
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b
ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai
harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam
perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus
mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu
oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di
tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-
Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pasal 52
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya,
apabila diminta.


(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
49 dan Pasal 51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh
atau berdasarkan undang-undang.
Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan
tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita di daerah hukumnya.
(2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), Ketua
Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya melakukan pengawasan
terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan menjaga agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat memberikan petunjuk,
teguran, dan peringatan, yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ayat (2), dan
ayat
(3), tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
BAB IV
HUKUM ACARA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 54
Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini.
Pasal 55
Tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimuali sesudah diajukannya suatu
permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil
menurut ketentuan yang berlaku.
Pasal 56
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup
kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.
Pasal 57
(1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA.
(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN
BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 58
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.
(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeraskerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 59
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila
undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan
penting
yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan
secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup.
(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat
(1)
mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya
batal


menurut hukum.
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.
Pasal 60
Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Pasal 61
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding
oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan
lain.
Pasal 62
(1) Segala penetapan dan putusan Pengadilan, selain harus memuat
alasanalasan dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu
dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis
yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap penetapan dan putusan Pengadilan ditandatangai oleh Ketua dan
Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada waktu
penetapan dan putusan itu diucapkan.
(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditandatangani oleh Ketua dan
Panitera yang bersidang.
Pasal 63
Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan
kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.
Pasal 64
Penetapan dan putusan Pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi,
pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya
menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu
meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Sengketa Perkawinan
Umum
Pasal 65
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
Cerai Talak
Pasal 66
(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya
mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang
guna menyaksikan ikrar talak.
(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
termohon, kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat
kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.
(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman pemohon.
(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri,
maka permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan
Agama Jakarta Pusat.
(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai
talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.
Pasal 67
Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 66 di atas memuat:
a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan
termohon, yaitu istri;
b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.
Pasal 68
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim


selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat
permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 69
Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan
Pasal 79, Pasal 80 ayat (2), Pasal 82, dan Pasal 83.
Pasal 70
(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka
Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri
dapat mengajukan banding.
(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,
Pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan
memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.
(4) Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam
suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak
yang dihadiri oleh istri atau kuasanya.
(5) Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak
datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau
wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya.
(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari
sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak
mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau
patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak
dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Pasal 71
(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.
(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan
putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat
dimintakan banding atau kasasi.
Pasal 72
Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 71 berlaku
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), serta Pasal 85.
Cerai Gugat
Pasal 73
(1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali
apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama
tanpa izin tergugat.
(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat
kediaman tergugat.
(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat.
Pasal 74
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak
mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian,
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan
yang berwenang yang memutuskan perkara disertai keterangan yang
menyatakan bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 75
Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat
mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk
memeriksakan diri kepada dokter.
Pasal 76


(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk
mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi
yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.
(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat
persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari
keluarga masingmasing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.
Pasal 77
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat
atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin
ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak
tinggal dalam satu rumah.
Pasal 78
Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat,
Pengadilan dapat:
a. menentukan nafkah yang ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak;
c. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya
barangbarang
yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi
hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Pasal 79
Gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum
adanya putusan Pengadilan.
Pasal 80
(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim
selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan
perceraian didaftarkan di Kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
Pasal 81
(1) Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya
terhitung sejak putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 82
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha
mendamaikan kedua pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara
pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri,
dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh
kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat
pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan
pada setiap sidang pemeriksaan.
Pasal 83
Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian
baru berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat
sebelum perdamaian tercapai.
Pasal 84
(1) Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa
bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi tempat
kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan perceraian
dalam sebuah daftar yang.disediakan untuk itu.
(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah
Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai
salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula
kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan


oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar
catatan perkawinan.
(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan
putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula
kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan
mereka di Indonesia.
(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai
kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah
putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan
kepada para pihak.
Pasal 85
Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau pejabat
Pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan
kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.
Pasal 86
(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda terlebih
dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tentang hal itu.
Cerai Dengan Alasan Zina
Pasal 87
(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu
pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat
melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan
tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu
bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti tidak
mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun dari
termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat menyuruh
pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk
meneguhkan sanggahannya dengan cara yang sama.
Pasal 88
(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan
cara li'an.
(2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1)
dilakukan oleh istri maka penyelesaiannya dilaksanakan dengan hukum
acara yang berlaku.
Bagian Ketiga
Biaya Perkara
Pasal 89
(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat
atau pemohon.
(2) Biaya perkara penetapan atau putusan Pengadilan yang bukan
merupakan penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam
penetapan atau putusan akhir.
Pasal 90
(1) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 89, meliputi:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara itu;
b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan
sumpah yang diperlukan dalam perkara itu;
c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan
tindakantindakan lain yang diperlukan oleh Pengadilan dalam perkara itu;
d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah Pengadilan
yang berkenaan dengan perkara itu.
(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Menteri Agama dengan persetujuan


Mahkamah Agung.
Pasal 91
(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 90 harus
dimuat dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh Pengadilan kepada salah satu pihak
berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu,
harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan Pengadilan.
BAB V
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Pasal 92
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.
Pasal 93
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat
lain yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke Pengadilan kepada
Majelis Hakim untuk diselesaikan.
Pasal 94
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor
urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang karena menyangkut
kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.
Pasal 95
Ketua Pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan
atau putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 96
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan
mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti.
Pasal 97
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti bertugas
membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang
Pengadilan.
Pasal 98
Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan Pengadilan.
Pasal 99
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di
Kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tiap
perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.
Pasal 100
Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan Pengadilan
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 101
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan
atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan pihak
ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat lain yang
disimpan di Kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak
boleh dibawa keluar dari ruangan Kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua
Pengadilan berdasarkan ketentuan undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau
putusan, risalah, berita acara, akta, dan surat-surat lain diatur oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 102
Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja Kepaniteraan Pengadilan diatur
lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.
Pasal 103
(1) Juru Sita bertugas :
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran, dan
pemberitahuan penetapan atau putusan Pengadilan menurut cara-cara
berdasarkan ketentuan undang-undang,
c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan


kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Pengadilan
yang bersangkutan.
Pasal 104
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur oleh
Mahkamah Agung.
Pasal 105
(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum
Pengadilan.
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata kerja
Sekretariat
diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 106
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini;
1. semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai Badan
Peradilan Agama menurut Undang-undang ini;
2. semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Peradilan Agama
dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undangundang
ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan
dengan Undang-undang ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 107
(1) Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
a. Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad
Tahun
1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan Nomor 610);
b. Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk
sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun 1937
Nomor 638 dan Nomor 639);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran
Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan
d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2)
Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019),
dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen
Indonesia yang diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44,
mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar
sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yangdilakukan
berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.
Pasal 108
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 1989
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
MOERDIONO